hellman .info

Jumat, 25 Januari 2008

Laskar Pelangi

Sebetulnya saya adalah seorang yang tidak tertarik dengan novel. Bagi saya membaca adalah hal yang paling membosankan, sampai pada saat saya mendengar sebuah novel yang banyak dibahas dibeberapa media baik cetak maupun elektronik. Saya cukup terkejut dengan novel tersebut, novel karya anak bangsa ini telah 16 kali cetak ulang dan sudah diterjemakan di beberapa bahasa. Sebuah prestasi yang luar biasa.

Andrea Hirata, sang pengarang buku, saya pikir ini adalah penulis asal Jepang. Ternyata bukan. Andrea Hirata berasal dari Belitong. Dan novel ini kabarnya adalah memoar masa kecilnya dan semua pelakunya adalah nyata.

Diawali saat SD Muhammadiyah, sekolah kampung di Belitong dengan fasilitas yang sangat terbatas, membuka pendaftaran untuk murid baru kelas satu. Hingga saat2 terakhir pendaftaran hanya 9 orang anak yang mendaftar dan siap masuk kelas di hari pertama. Padahal sekolah reot ini sudah diperingatkan oleh dinas akan dibubarkan jika murid barunya kurang dari 10 orang.

Jika tak ada Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental, yang disekolahkan oleh ibunya agar tidak cuma mengejar anak ayam di rumah, tentu tidak pernah terjadi kisah ini. Ikal (sebutan andrea hirata) tidak akan pernah bertemu, berteman satu kelas dengan Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Kucai, Borek alias Samson, Sahara, Trapani, dan Harun. Tidak akan pernah bertemu Bu Muslimah, guru penuh kasih namun penuh komitmen untuk mencerdaskan anak didiknya padahal dia hanya lulusan setingkat SMP. Dan tidak akan pernah ada Laskar Pelangi, yang di musim hujan selalu melakukan ritual melihat pelangi sore hari dengan bertengger di dahan2 pohon filicium yang ada di depan kelas mereka.

Berkisah tentang Lintang, anak super genius didikan alam, yang rumahnya berjarak 40 km dari sekolah dan dilaluinya dengan bersepeda setiap hari tanpa mengeluh. Bahkan ketika suatu hari rantai sepedanya putus, dia rela berjalan kaki menuntun sepedanya ke sekolah. Dan merasa bahagia karena masih mendapat kesempatan ikut menyanyikan Padamu Negeri di jam pelajaran terakhir....

Berkisah tentang Mahar anak genius berikutnya, tapi yang satu ini genius dalam bakat seni.Tentang keberhasilan mereka mengangkat nama SD Muhammadiyah yang selama ini selalu dianggap remeh dalam acara karnaval 17 Agustus dan lomba cerdas-cermat.

Buku ini juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat dipulau Belitong. kehidupan yang berbeda antara staf-staf tambang timah yang penuh kemewahan dengan warga asli yang dihantui kemiskinan.


Sayangnya buku ini sering membuat kita kehilangan frame waktu. Kisahnya kadang berlompatan dari satu frame waktu ke frame waktu yang lain tanpa urutan yang jelas. selain itu banyaknya istilah-istilah asing yang mungkin bagi orang awam sulit dimengerti. Di lembar pertama saja aku sudah heran dengan penyebutan pohon di depan kelas dengan nama latinnya. Pohon Filicium, begitu selalu disebut.

Bukan itu saja, istilah ilmiah dan istilah2 asing juga banyak dipakai dimana-mana. Membuka daftar isinya saja, terbaca sekian banyak bab yang diberi judul dengan istilah asing. "Antediluvium", "The Tower of Babel", "Zoom Out", "Center of Excellence", "Be There of Be Damned!", "Elvis has left the building"... Ini beneran cerita tentang anak2 SD di kampung?

Ada sesuatu yang membuat saya penasaran apakah cerita ini nyata, tentang kegeniusan Lintang misalnya. Apakah wajar anak desa seperti lintang yang hanya berpendidikan disekolah yang reot dapat memecahkan masalah dengan rumus-rumus setingkat perguruan tinggi.

Walau ada beberapa gangguan dalam novel. Novel ini sangat menyentuh perasaan dan sangat mengesankan. Novel ini akan membuat kita agar senantiasa mensyukuri hidup.
di berbagai pembahasan, novel ini dikatakan akan menjadi motivator bagi pembaca dalam menjalani kehidupan.
posted by hell_man at 03.34

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home